Pesan Dalam Secangkir Cappuccino

     Nggak tau kenapa, malem ini aku nggak bisa tidur nyenyak. Adany cuma perasaan nggak enak aja. Aku mikirin Vano, kekasihku. Tapi kan dia sekarang lagi dirumah, dia nggak sakit, pasti dia baik-baik aja.
     Pagi itu, seperti biasa aku dijemput sama pangeranku naik Jazz Hitamnya. Eh dia hari ini bawa motor. Bodo ah, yang paling penting bisa sama dia.
     "Selamat pagi, Abe. Maaf ya, hari ini si Jazzy belom mandi. Jadi ya abang bawa kuda besi aja." Sapanya ketika aku menghampirinya.
     "Nggak apa-apa kok, yang penting Abe bisa sama Vano. Mau naik apa aja ayo deh." Kataku
sambil mencium pipinya.
     "Yaudah sayang, berangkat yuk. Pegangan Vano yang kenceng ya."
***
     "Be, lo makin lengket aja sih sama Vano. Jadi ngiri gue." Kata Citra sahabatku yang tiba-tiba menghampiriku.
     "Jelas dong. Lo tau nggak, kemaren kan gue abis second anniversary gitu sama dia. Nah dia bawa gue ke tempat yang romantis abis. Dia bawa gue ke taman belakang SMP gue dulu. Disana bagusssss banget kalo malem, banyak kunang-kunangnya. Udah gitu dia kasih gue cincin ini nih. Katanya sih biar kaya tunangan, hehehe." Ujarku sambil memamerkan cincin pemberian Vano.
     "Wah gue pengen dong kaya gitu, kapan ya gue bisa dapet cowok kaya dia? Aduh lo beruntung banget dapetin dia Be." Kata Citra dengan gemas.
     "Makannya, suka itu sama cowok yang macho. Jangan suka sama cowok kaya Dio, masa sama bola aja takut." Komentarku.u
     "Biarin, yang penting ganteng."
     Bel masuk pun berbunyi dan aku harus segera masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran bahasa inggris. Nah, pas pelajaran aku nggak bisa konsentrasi, perasaanku nggak enak lagi soal Vano. Disini aku semakin takut kalau Vano kenapa-kenapa. Dan pas aku mikirin dia itu, dia sms.
     From : Vano
     Sayang, lagi pelajaran ya? Kasian, aku jam kosong dong.
     Hehehe senyum sendiri deh di sms kaya gitu, konyol banget sih. Jadi akhirny malah nggak perhatiin Bu Tika ngajar deh. Malah asik sama Vano.
     Tak lama, bel pulang pun berbunyi. Dan Vano udah ada di depan kelasku. Sebelum pulang ke rumah, kami berdua pergi nonton dulu. Siang itu Vano agak pucat, aku tanya apa dia sakit? Tapi dia bilang enggak. Aku ajak pulanh dia nggak mau. Yaudah deh, akhirnya nurut aja sama dia.
     "Be, Vano sayang banget sama Abe." Katanya ditengah-tengah menonton film.
     "Abe juga sayang banget sama Vano." Jawabku sembari mendekap lengannya.
     Vano mengecup bibirku, dan aku ngrasa kalo ciuman ini kaya berarti banget.
     "Apapun yang terjadi, Vano bakalan sayang sama Abe. Sampai kapan pun." Kata Vano lagi.
     Aku nggak ngomong apa-apa, aku cuma senderin kepala di bahunya. Menikmati kehangatan kasih sayng darinya. Rasany kaya aku bener-bener nggak mau buat mengakhiri saar ini, rasanya saat ini berarti banget. Seolah-olah kalo Vano mau ninggalin gue.
     Ya, akhirnya film ini kelar juga. Tapi, eh kok Vano nggak gerak? Kok Vano nggak ngajak aku pulang? Kok Vano nggak ngomong apa-apa?
     Aku akhirny lepasin kepalaku dari bahunya. Vano? Aku pikir dia tidur. Aku bangunin, aku goyang-goyangin tapi dia nggak gerak sama sekali.
     "Vano? Vano nggak apa-apa kan? Bangun sayang, Vano kenapa? Sayang, bangun !!!" Kataku sambil menangis.
***
     Vano meninggal, di bioskop.
     Kata dokter, pas Vano nyampe di rumah sakit itu, dia emang udah pergi. Aku yang selama ini nggak tau kalau dia punya penyakit cuma bisa nangis. Udah dua hari aku nggak sekolah. Jangankan buat sekolah, buat keluar kamar aja engga. Kalau laper aku baru buka pintu kamar yang disitu udah ada makanan yang disiapin mama. Aku belum ke makam Vano, belum kerumah Vano. Aku ngrasa nggak kuat, aku nggak kuat tanpa dia.
     Pagi itu, aku lihat ada secarik surat dibawah pintu kamarku. Warnanya merah muda. Disana tertulis kalay surat ini buatku, dan dari Vano. Ya Vano, kekasihku yang meninggal. Aku juga bingung. Makannya aku langsung buka amplop itu kaya seolah-olah ada undian milyaran rupiah di dalem amplop itu. Ada selembar kertas dan sebuah foto, foto Vano bersamaku ketika kita baru jadian di sebuah cofee shop. Terlihat bahagia banget kami berdua, nggak terasa aku nangis lagi lihat foto itu.
     Dear Abe,
     Maaf ya Vano pergi nggak bilang Abe. Vano cuma nggak mau bikin Abe kepikiran sama keadaan Vano. Vano pengen bisa lihat Abe tetep senyum walaupun Vano mau pergi.
     Abe nggak boleh sedih ya, nggak boleh putus asa buat terus jalanin hidup. Abe, live must go on. Jangan tangisin kenangan kita sayang, buat kenangan itu hidup lagi. Meskipun tanpa Vano yang genggam tangan Abe lagi, tapi Vano bakal tetep ada di samping Abe. Vano bakal temenin Abe kemanapun Abe melangkah.
     Jadi, demi Vano dan demi kita, Vano minta Abe buat senyum lagi. Abe nggak boleh nangisin Vano lagi. Karena apapun yang terjadi, Vano tetep sayang Abe, Vano tetep cinta Abe, Vano bakalan tetep hidup dihati Abe.
     Tangisku menjadi-jadi setelah membaca semua itu. Aku menghabiskan tangisku untuk Vano.
     Sore ini, aku mengunjungi makam Vano. Aku tabur bunga yang udah aku beli tadi. Aku berusaha nahan tangis, karena memang aku udah janji sama Vano. Aku berdoa semoga Vano bisa tenang. Dan setelah dari makam itu aku pun menuju coffee shop langgananku dan Vano. Aku memesan cappuccino kesukaanku dan Vano. Aku nggak nangis, ditempat ini aku kembali mengenang hal-hal indah sama Vano. Aku mencoba tersenyum lagi, memandang secangkir cappuccino hangat itu. Asapnya masih mengepul. Aku memejamkan mata dan berkata dalam hati.
     "Abe kangen banget sama Vano. Abe janji nggak akan nangis. Abe janji bakal menghidupkan kenangan kita lagi. Van, aku cinta kamu."
     Semoga asap cappuccino hangat ini membawa pesanku untuk Vano. Semoga Vano bisa mendengarkan kata hatiku.
     Dan, seakan menjawab pesanku, topping cappuccino itu tiba-tiba membentuk gambar hati. Dan aku tersenyum melihat tingkah Vano itu.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to " Pesan Dalam Secangkir Cappuccino"

Posting Komentar