Pria itu Harapanku

     "La, kenapa nglamun lagi sih?” Suara Rere membuyarkan lamunanku.
     “Eh, nggak apa-apa kok. Oh ya jam berapa nih?” Kataku mengalihkan perhatian.
     “Hampir jam 4 nih. Kenapa?” 
     “Gue harus balik deh kayaknya. Ale kayaknya udah pulang kuliah deh.” Ucapku sambil menekan nomer hp Ale, pacarku. 
     “Masa lo ninggalin gue sendirian di Starbucks? Tega banget lo.” Rere berkata setelah aku selesai menelpon Ale.
     “Sorry, gue lupa mau kasih tau lo tadi kalo hari ini gue ada janji sama Ale. Mau nemenin dia cari buku, sekalian nonton sih hehe.” Selagi menunggu Ale sampai di Kedai Kopi ini aku asik bercanda bersama Rere. 
     “Re, gue jalan dulu ya. Ale udah dateng nih.”

     “Hati-hati ya, La. Salam buat pacar lo.”
     Hm, aku menghela nafas. Aku menunggu adanya gemuruh tak beraturan di jantungku. Selalu. Tapi aku sama sekali tidak merasakan adanya gemuruh, getaran sekalipun. Aku selalu saja menunggu aku punya rasa tidak karuan di dadaku setiap aku memikirkan ataupun melihat pria ini. Anrale Miracle, yang biasa dipanggil Ale. Nama yang indah bukan? Orang Tua Ale pasti benar-benar mengerti kalau memiliki seseorang sesempurna Ale adalah sebuah Keajaiban. Tapi kenapa aku tidak pernah merasa sempurna setiap bersamanya?
     Aku rindu dengan adanya rasa dimana jantungku terasa melonjak-lonjak setiap aku melihat kekasihku. Apa aku sudah tidak bisa merasakannya lagi setelah semua itu? Setelah kejadian 2 tahun yang lalu itu? Setelah hatiku serasa diremukkan oleh orang itu? Apakah memang hatiku sudah benarbenar remuk sehingga aku tidak bisa lagi merasakan cinta? Ah, andai saja aku masih bersama orang yang sama dengan 2 tahun yang lalu itu, pasti aku masih bisa menikmati rasa cinta. Rasa yang akan membuat hidupmu tak karuan. Rasa dimana kamu tak tau sedang bagaimana perasaanmu sekarang. 
     “Yuk sayang. Mall sudah menunggu.” Sambut Ale yang tidak turun dari motornya. 
     “Yuk, sayang.”
     Sore ini aku menemani Ale mencari buku yang katanya dibutuhkan buat anak kuliahan. Aku tidak pernah mengerti dengan hidup para mahasiswa teknik seperti Ale. Aku memang sudah SMA dan sebentar lagi aku pasti akan jadi mahasiswaa juga. Ale sering sekali pergi ke toko buku hanya untuk mencari buku untuk tugasnya besok. Aku tidak tahu apa buku itu masih berguna kalau saja tugasnya sudah berakhir. 
     Setelah Ale selesai dengan kebutuhannya, dia mengajakku nonton. Filmnya romantis, dan aku merasakan Ale tidak pernah melepaskan tanganku digenggamannya. Aku nyaman dengan semua
perlakuannya ini. Seakan dia sangat lembut padaku. Tapi tetap saja, aku tidak merasakan sesuatu di dadaku.
     “Mau makan dimana, La?”
     “Terserah kamu sih, aku nggak laper sayang.” Jawabku sekenanya.
     “Tapi kan ini udah waktunya makan malam sayang.” Sambil menunjukkan padaku bahwa sekarang sudah jam 7 malam.
     “Yaudah, Starbucks aja deh. Pengen kopi ini.”
     Ale begitu perhatian. Penuh pengertian. Tapi, rasaku selalu sama. Tidak pernah mengalami peningkatan sedikitpun.
     Malam itu aku sampai dirumah jam 9 lebih. Ibu tidak mempermasalahkannya karena besok memang hari Minggu.  Sesampainya dikamar aku merebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Pikiranku kembali menerawang. Mengingat masa indahku dulu. Tidak bersama Ale. Tapi bersama lelaki itu. Lelaki yang kucintai setengah mati. Lelaki yang selalu saja membuat dadaku melompat setiap kali mendengar namanya, setiap kali memikirkannya, setiap kali bersamanya. Namun, semua kebahagiaan itu berakhir ketika dengan bodohnya aku memilih lelaki lain. Dan keputusan itu yang aku sesali selama 2 tahun ini. Bukan salahnya tidak mempertahankanku. Aku saja yang waktu itu belum mengerti bahwa aku sedang dipertahankan. Aku yang salah. Aku yang hanya mendengarkan egoku, bukan hatiku.
     Kalau sudah seperti ini, rasa bersalah menyerangku dari semua sisi. Bukan hanya karena tindakan bodohku di masa lalu. Tapi juga karena aku sudah membohongi Ale. Aku selalu bilang bahwa aku juga mencintainya. Dan kenyataan itu adalah bohong. Aku, tidak mencintainya. Aku hanya menyayanginya karena dia selalu ada untukku. Sudah ratusan bahkan ribuan kali kucoba selama satu setengah tahun ini untuk mencintainya. Namun usahaku hanyalah sia-sia. Aku masih mencintai pria 2 tahun lalu. Selalu.
     “Tumben sayang nggak mau aku jemput dirumah tadi.” Kata Ale kepadaku yang sudah menunggunya di pantai ini. Pantai yang dulu pernah menjadi saksi dimana aku dan dirinya menjadi sepasang. Menjadi hal yang sering kusebut “KITA”.
     “Nggak apa-apa sih Le.”
     Sesaat kami berdua hanya bisa diam. Aku yakin Ale merasakan ada yang lain di diriku saat ini. 
     “Kita sampai disini aja ya?” kubuka percakapan itu.
     “Maksud kamu?” Tanya Ale sedikit berteriak. Bingung. Aku yakin dia bingung.
     “Ya, hubungan ini Le.”
     “Kenapa? Ada masalah apa?” Ale berbicara dengan sangat pelan. 
     “Nggak ada masalah apa-a..."
     "Aku ada salah sama kamu? Ngomong La, kalau aku emang salah.” Dia memotong kata-kataku.
     “Enggak Le. Kamu nggak salah. Aku yang salah.”
     “Salah apa maksud kamu?” Tanya nya bingung.
     “Ya aku salah. Selama ini aku udah bilang kalau aku cinta sama kamu. Aku udah bilang kalau aku udah nggak punya rasa sama mantan-mantanku. Semuanya bohong.” Aku menangis ketika mengatakannya.
     “Tapi kamu cinta kan sama aku?” 
     “Aku udah bilang kan, Aku nggak cinta kamu Ale.” Kataku membantah.
     “Apa ada yang lain?” Ale mendesah.
     “Aku tidak bisa melupakannya. Dia, 2 tahun yang lalu itu. Kamu ingat kan?” Tanyaku.
     “Gimana bisa kayak gitu La? Aku mau kok berusaha buat kamu bisa cinta sama aku.” Katanya memohon.
     Tangisku menjadi. Aku merasa jahat sudah membuat lelaki sempurna disampingku ini menangis dan memohon kepadaku. Sesalku muncul, kenapa aku dulu mau menerimanya? Nela bodoh, bodoh bodoh!!!!
     “La? Aku mau La.” Ale memohon lagi.
     “Nggak Le, aku nggak mau bikin hati kamu tambah hancur. Aku tau kamu mencintaiku dengan tulus. Tapi aku minta maaf. Aku nggak bisa membalasnya.” Dan aku beranjak pergi meninggalkannya. Sekuat mungkin aku menahan agar aku tidak menoleh kepadanya. Cintaku memang bukan untuknyaa. Tetapi sebagai manusia, aku memiliki rasa kasian kepadanya.  Kini aku sendiri lagi. Kini aku menghabiskan tiap malamku lagi untuk menangisi pria 2 tahun lalu. Aku tidak berniat mencarinya. Tidak berniat pula untuk mengejarnya. Tetapi harapanku untuk bersamanya kembali. Harapan untuk bisa menjadi satu lagi dengannya. Tanpa ada yang memisahkan.  Dan pria dua tahun lalu itulah harapanku.
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "Pria itu Harapanku"

Posting Komentar