Hujan dan Kamu
Hujan lagi ! Hujan lagi !
Aku benci saat malam yang damai
tiba-tiba terusik dengan suara tidak penting dari hujan. Aku benci dimana ada
bau khas sehabis hujan itu turun. Suara maupun aroma hujan itu selalu berhasil
menembusnya. Menembus kenangan yang sama sekali tidak aku inginkan.
Hujan lagi!! Aku benci dengan
semua orang mengartikan keromantisan ketika hujan datang. Aku benci hujan! Dia turun dengan membawa serpihan kenangan
yang mau tak mau harus aku ingat lagi. Dan serpihan itu beruba h menjadi
sepenggal kenangan indah yang menyatkan.
Bagaimana mungkin aku bisa
menghentikan hujan? Turunnya hujan hanya akan membuatku semakin rapuh, semakin
jatuh dan tidak semakin tangguh. Karena hujan itu membawa serta dirimu dan
semua kenangan itu yang berulang kali aku tegaskan bahwa aku sudah tak
menginginkannya.
Bagaimana mungkin aku bisa
menghentikan ingatan itu ? Jika suara dan aroma hujan menyentuh indraku. Mereka
membangkitkan kenangan itu,
saat pertama kalinya kita saling menyukai hujan.
Dan ada janji dibalik hujan , ada yaa.... semacam ikrar dari kita berdua. Haha
aku menyebut “kamu dan aku” sebagai “kita”. Lagi. Dan ini sering terjadi. Aku selalu
belajar membiasakan diri tidak menggunakan kata itu lagi. Tapi inilah hasilnya, bagiku “kamu dan aku” masih menjadi
“kita”.
Hujan dan janji itu. Manis?
Romantis? Ya memang. Aku menyukai keduanya. Tapi membencinya ketika secara
tidak sadar, hujan dan janji itu menyayat hatiku perlahan seolah ingin sakit
ini bertahan. Aku membencinya dan aku tidak tau harus apa.
Mengingat kembali janji itu ya?
Baiklah, akan aku ceritakan dengan
gamblang dan sejelas mungkin. Aku hafal semuanya, dengan baik dan dengan
akurat. Entahlah apa hanya aku yang mengingatnya, aku tidak peduli. Yang pasti
semuanya masih tergembok dengan cantik disini. Dihatiku yang dulu pernah terisi
kamu. Dan akan selalu mengisi hatiku.
Manis memang, dikamarku sore itu.
Ada kamu dan aku. Kita. Kita. Kita. Aku suka kata itu, dan tanpa bosan aku
ingin selalu mengulanginya jika aku bisa
dengan tepat menggunakannya. Kita berdua, baru beberapa hari kita memulai
komitmen untuk saling menjaga satu sama lain, saling mengasihi, dan saling
mencintai. Dan saat itu, ada hujan yang menyapa kita. Ada bulir-bulir air yang
mengalir, menari mengiringi kebahagiaan kita. Kamu memegangku erat, dan demi
apapun aku tidak ingin sentuhanmu itu berakhir sampai saat ini juga.
Janji
itu terucap, dengan penuh keyakinan kita berjanji dengan saksi hujan. Janji itu
berkata bahwa tidak ada pemisah di antara kita kecuali tuhan yang memisahkan.
Mengikrarkan kesetiaan kita berdua, mengikrarkan keabadian cinta kita. Niatku,
menjaga komitmen ini apapun yang terjadi. Aku tidak peduli. Aku yakin kau pun
sama halnya denganku. Sebenarnya, mulai sore itu aku menganggap hujan adalah
indah. Hujan adalah kita.
Kamu
pernah berkata, “Walaupun hujan tidak selalu datang, tapi hujan tidak akan
pernah pergi dari awan yang selalu berada di atas kita. Sama halnya denganku,
meskipun aku tak selalu di sisimu, yakinlah bahwa sedetikpun aku tidak pernah
berniat meninggalkanmu”.
Bukannya
aku membenci kenangan kita, namun terkadang sakit ketika kenangan itu mengusikku
lagi. Sakit karena aku tak tahu harus bagaimana. Yang bisa aku lakukan hanya
mengucapmu dalam doa, mengucapmu dalam setiap sujudku.
10
Februari. Tanggal dan bulan itu merupakan sejarah penting untukku. Untuk kita.
Aku masih ingat, pada tanggal itu di depan kelasku. Kamu hadir dengan sebuah
gitar ditanganmu. Ada sebuah lagu yang kamu mainkan, untukku. Dan hingga saat
ini lagu ini menjadi lagu yang paling kugemari, karena kamu yang mengenalkannya
untukku. Karena dengan lagu ini, aku tau bahwa perasaanku sama denganmu. Ohya, kamu
tau? Ternyata hujan juga turun pada tanggal itu. Aku baru menyadarinya, ketika
kenangan itu bermain kembali di ingatanku.
Mendapatkanmu
itu susah. Untuk satu tahun aku hanya mampu memandangmu dari jauh dan hanya
bisa meminta pada tuhan agar kita disatukan. Entah bagaimana bisa, kamu yang
semula tidak melihatku sama sekali bisa aku miliki sekarang. Mungkin Tuhan
telah membisikkan bahwa disini ada orang yang menyayangimu diam-diam. Bahwa ada
orang yang tidak berani berucap pada siapapun bahwa dia menginginkanmu. Doaku
dulu, aku menginginkanmu menjadi yang pertama dan terakhir untukku. Aku yakin
itu.
Hari
jadi kita yang pertama, hujan lagi. Aku bahagia ketika hujan turut serta hadir
dalam bahagianya kita. Aku bahagia bahwa itu artinya, hujan menganggap kita
istimewa. Selepas dari sekolah itu, kamu mengajakku berjamaah. Ini sudah
kesekian banyak kalinya kamu menjadi imamku, tapi kali ini lain. Mungkin karena
kita melakukannya di tanggal yang istimewa, atau memang karena kayakinanku semakin
memuncak bahwa kamu memang imam sejatiku. Kamu gagah, tampan ketika memimpin
sholat. Manis ketika mengucapkan ayat-ayat tuhan. Dan bersih ketika tersenyum
sembari mengulurkan tanganmu untuk berjabat denganku. Aku suka caramu merayakan
hari bahagia kita. Kamu memang beda.
26 kali
tanggal 10. Berarti hari itu kita telah menjalani 791 hari intuk bersama. Tidak
terasa bukan? Ya aku juga. Kamu yang membuat waktu-waktu berjalan lebih cepat
dengan banyak memberiku kebahagiaan. Tapi terimakasih, kamu tetap membuatku
menghargainya. Meskipun sudah lama sejak tanggal 10 yang pertama, cintaku
untukmu tidak pernah memudar sedikitpun. Aku semakin mencintaimu, dan cintaku
atas nama Tuhan.
18
April. 2 minngu ini kamu jadi penghuni rumah sakit. Taukah kamu, aku tidak
setegar di depanmu sebenarnya. Melihat banyaknya perabot medis berada di
sekelilingmu, melihatmu sering tidak sadarkan diri membuatku rapuh. Tapi aku
memaksakan diri selalu tersenyum untukmu. Tinggal penyesalanku kenapa aku tidak
tahu tentang sakitmu ini dari dulu.
19
April, malam ini terakhir kalinya aku memandangmu sayang. Masih gagah, masih
tampan, dan masih manis. Tapi, kebersihan senyummu seperti saat kamu
mengimamiku tidak dapat kulihat lagi. Dengan jelas, lantunan ayat tuhan
terdengar di sekitar kita. Tanganmu dingin, ini tidak membuatku nyaman lagi.
Tapi sebelum aku tak bisa menyentuhmu, tenanglah. Tanganku akan selalu
menggenggammu. Dan aku tidak akan melingkan pandanganku darimu, sebelum seluruh
tubuhmu tak terlihat lagi olehku.
Penyakit
itu kejam kan? Iya kan? Dia merenggutmu. Dariku dan dari orang-orang
terdekatmu. Ah,tapi Tuhan yang memberikan sakit itu, aku tak seharusnya
membenci tentang sakitmu.
Ada
secarik kertas keesokan harinya ketika aku terbangun di kamarmu yang sudah
tanpa kamu. Ini tulisan tanganmu, berpesan bahwa aku tak boleh menangisimu,
bahwa aku tak boleh terpuruk atas kepergianmu. Aku sudah tidak bisa menangis.
Air mataku sudah kering untukmu. Sudah terkuras habis untuk menangisi
kepergianmu.
Pagi ini masih hujan, sama seperti
semalam ketika kamu menutup mata untuk selamanya. Mungkin hujan tau, bahwa
salah satu empunya janji dan ikrar telah berpulang. Namun hujan, aku sudah
bertekad menjaga janji ini apapun yang terjadi. Jika memang dia telah tiada,
temani aku hujan, untuk menjaga ikrar ini. Untuk menjaga cinta ini agar aku
bisa menemuinya kembali di keabadian nanti.
Seharusnya
ini hari jadi kita yang ke 3. Itu artinya kamu hampir 10 bulan meninggalkan
dunia ini. Kita masih menjadi pasangan, aku menganggapnya begitu. Aku masih
selalu menyebut “kamu dan aku” dengan “kita”. Berbeda alam, namun kita masih
sering bercengkerama. Lewat doa dan mimpi.
Pagi ini sebelum sekolah, aku menyempatkan diri ke makam kamu. Membawa
payung karena hujan menemaniku kembali. Membersihkan sedikit daun yang ada
disekitar tempat peristirahatanmu. Aku datang lagi, membawa bunga dan doa
untukmu. Datang lagi dengan cinta yang masih menggebu, sama seperti ketika kamu
meninggalkanku.
Aku tau kamu seri ng
membangunkanku ketika malam hendak beranjak pagi. Aku tau kamu ingin aku
melakukan sholat malam dan berdoa untukmu dan masa depanku. Senang ketika aku
terbangun di jam-jam biasa kamu menyadarkanku dan yang pertama kali kuingat itu
kamu. Kerinduan tentangmu jelas sering menghampiriku. Kalau sudah seperti itu,
yang aku lakukan hanya segera mengambil wudhu dan membacakan untukmu ayat-ayat
tuhan.
Wahai hujan, wahai kamu.
Terimakasih atas semua kebahagiaan ini. Pahit memang. Tapi maafkan aku. Aku tak
seharusnya memaki hujan. Tak seharusnya membenci hujan.
Wahai kamu. Beristirahatlah
dengan tenang. Satu sisi tempat tidurku selalu kosong, dan kamu selalu bisa
menempatinya tiap malam untuk menemani tidurku. Semoga aku selalu bisa menjaga
hati untukmu. Semoga aku tidak pernah berkurang memberikanmu kiriman doa. Dan semoga
kamu selalu sabar menungguku. Selamat malam kamu, selamat malam hujan. Sampai
jumpa nanti di kebahagiaan yang abadi. Aku selalu mencintaimu, selalu.
12 Desember 2015 pukul 00.37
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)